DISKRESI KEPOLISIAN DAN LITERASI HUKUM


Sekitar empat hari terakhir ini, penulis bersama dengan ormas kepemudaan (Pemuda Muhammadiyah, KAMMI, Alumni LDK, IMM, IPM, Formusba, Persatuan Remaja Masjid Balikpapan) sedang aktif melakukan pendampingan hukum terhadap para aktivis muslim yang terkena dampak pencekalan oleh personil kepolisian pada saat akan berangkat menuju aksi “212”.


Pendampingan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menuntut keadilan terhadap terganggunya kehidupan pribadi para korban pencekalan, tapi juga sebagai ikhtiar untuk mencerdaskan pengetahuan hukum masyarakat.

Sebagian besar korban pencekalan merupakan orang-orang yang belum memiliki literasi hukum secara memadai. Pada mulanya mereka didata dan selanjutnya diminta menandatangani surat pernyataan bermaterai yang keterangannya menjelaskan bahwa mereka tidak akan berangkat ke Jakarta mengikuti kegiatan doa bersama tersebut. Surat pernyataan inilah yang kemudian menjadi amunisi bagi personil kepolisian untuk melakukan pencekalan.

Padahal surat pernyataan merupakan perbuatan hukum sepihak yang berfungsi sebagai keterangan mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat dalam lingkup hukum perdata. Artinya surat pernyataan itu baru bisa dijadikan sebagai bukti apabila isi dan tanda tangan tidak disangkal atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung : tgl. 3-12-1974 No. 1043 K/Sip/1971).

Faktanya, dengan surat pernyataan itu seakan-akan menjadi jalan masuk bagi personil kepolisian untuk mencekal atau setidak-tidaknya menghalang-halangi para calon peserta aksi “212”.

Sampai disini jelas terlihat bagaimana diskresi (kewenangan bertindak menurut pendapat pribadi penyidik) yang diberikan oleh KUHAP Pasal 7 ayat 1j KUHAP, bahwa penyidik karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab.

Padahal anak kalimat "tindakan apa saja" ini dibatasi dengan syarat –syarat seperti  pertama, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, kedua, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; ketiga, tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya; keempat, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; kelima, Menghormati hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a sub 4 dan pasal 7 ayat (1) sub j) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Dengan demikian personil kepolisian yang melakukan pencekalan sesungguhnya telah melakukan setidak-tidaknya lima pelanggaran kode etik dan bahkan pidana. Pertama, pencekalan dalam menyampaikan aspirasi di muka umum merupakan kejahatan terhadap Undang-Undang No. 9 Tahun 1998; kedua, tindakan pencekalan dan penghalangan hanya dapat dikenakan bagi mereka yang berstatus tersangka atau sekurang-kurangnya saksi; ketiga, pemeriksaan yang menghabiskan waktu berjam-jam tidak sepatutnya ditimpakan kepada mereka yang memang tidak masuk dalam kualifikasi tersangka atau saksi; keempat, tidak ada keadaan yang memaksa secara serius sehingga peserta aksi 212 harus dicekal dan dihalangi untuk berangkat, kelima pencekalan dan penghalangan jelas merupakan penistaan terhadap Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.

Artinya, diskresi personil kepolisian atau pejabat kepolisian sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian belum selaras dengan kewajiban menjunjung tinggi hak asasi manusia yang justru menjadi pilar konstruktif untuk menopang citra profesionalisme POLRI.

Pasal 28G UUD 1945 menyatakan bahwa"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".
Kesimpulannya, pencekalan dan penghalangan merupakan bentuk kejahatan terhadap rasa aman dan justru melahirkan tekanan fisik maupun psikis padahal hak menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang tidak dapat ditawar pemenuhannya.

Disamping itu, pencekalan dan penghalangan yang dilakukan oleh penegak hukum bagi seseorang untuk ke luar negeri sementara kualifikasinya belum jelas sebagai saksi atau tersangka berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum.

Polri dan Masyarakat harus terus didorong menuju literasi hukum, agar semakin terampil dan beradab, sehingga kesalahan tafsir terhadap diskresi tidak terjadi dikemudian hari.

Penulis:
Isman Saleh, SH, MH
Juru Bicara Gerakan Pemuda Bela Islam