Kisah Ubin dan Patung



Di sebuah negeri, tersebutlah sebuah museum yang sangat terkenal.

Museum tersebut sangat megah, lantai marmernya sangat mengkilat, saking mengkilatnya orang-orang dapat bercermin di lantai tersebut.

Banyak orang datang dari penjuru dunia ke museum tersebut sangat ingin melihat sebuah patung wanita yang sangat indah.
Patung tersebut terbuat dari marmer dan dibuat sangat halus, detail patung tersebut juga menandakan sebuah karya seni yang tinggi.

Jam 1 dini hari, suasana ruangan musium itu sangat lengang.

Berbeda sekali dengan siang hari, ketika ribuan wisatawan, anak sekolah, pelancong datang mengunjungi ruangan musium itu. Datang dari segala pelosok untuk melihat dari dekat untuk mengagumi mahakarya berupa patung marmer yang luar biasa indahnya.

Patung berbentuk wanita cantik yang begitu halus pahatannya dan penuh dengan hiasan, sangat detail dan sempurna serta tampak begitu hidup.

Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh suara keluhan; “Sungguh tidak adil, ini sungguh tidak adil !” terdengar ubin marmer bicara.

“Mengapa engkau berkata demikian, sahabatku ?” Tanya sang patung marmer.
“Kita berasal dari bukit yang sama, kita juga dibuat oleh pemahat yang sama, tetapi mengapa nasib kita jauh berbeda.

Engkau disana tampak begitu indah, dikagumi dan dibicarakan banyak orang, sementara aku, harus menerima nasib sebagai ubin batu disini yang hanya diinjak-injak tanpa dipedulikan, kalau mereka menginjak kotoran diluar sana, kotoran tersebut pasti menempel padaku. Padahal kita kan terbuat dari bahan yang sama. Ini sungguh tidak adil !” ujar ubin marmer dengan emosi.

“Oh, itu rupanya”, kata sang patung. “Ingatkah engkau pada pemahat kita ?”
“Tentu saja, aku tak akan lupa pada pemahat sialan itu.

Ia mengambilku dari tempat tinggalku, ia gunakan pahat dan palu padaku untuk membuatku menderita.

Sungguh sakit, aku tak terima diperlakukan begitu. Aku melawan dan terus melawan, aku tak mau ia mengubahku sesukanya.
Enak saja, sampai kapanpun aku tak mau mengikuti kehendaknya” tukas ubin marmer masih emosi.

“Sahabatku”, ujar sang patung marmer lembut, “Itulah yang membedakan kita. Ketika sang pemahat mulai menggunakan pahatnya padaku, aku yakin bahwa sang pemahat punya maksud baik untukku.

Aku bertahan atas segala derita yang kualami, aku rela untuk menerima cukilan demi cukilan pahatnya, aku tidak meyerah dan bisa menerima segala proses yang dilakukannya padaku sehingga akhirnya aku menjadi seperti sekarang, sebuah mahakarya.”

“Sementara engkau, engkau terus menolak dan melawan, engkau bersikap
negatif terhadap perubahan.

Engkau tidak mau mengerti maksud baik sang pemahat, engkau mudah menyerah dan patah atas tempaan, sehingga hal terbaik yang bisa dilakukan hanyalah menjadikanmu ubin”, ujar patung marmer kembali.

Mendengar ini, sang ubin pun terdiam.
Sang patung kemudian melanjutkan :
“Oleh karena itu, janganlah engkau bicara soal ketidak adilan. Janganlah engkau melihat seakan nasib baik hanya datang kepada yang lain tapi tidak kepadamu.
Janganlah engkau menyalahkan sang pemahat.

Salahkan dirimu sendiri, kalau sekarang engkau diabaikan, tidak dianggap penting dan diinjak-injak orang”.

Hidup ini pilihan, ketika Guru "Sang Pemahat" menempa dan memahatmu melalui pelbagai cara, bagaimana dirimu menyambutnya akan menentukan apakah engkau menjadi suatu mahakarya atau hanya sepetak ubin. (SS)